Dokumen Final RZWP3K Bali Masih Dikepung Mega Proyek, WALHI Protes Keras

Tanggal

Rabu, 28 Agustus 2019 Kementerian Kelautan dan Perikanan kembali mengadakan pembahasan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) Bali yang diadakan di Ruang Rapat Layur-Nila, Gedung Mina Bahari IV, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Agenda kali ini masuk pada pemberian tanggapan dan/atau saran terhadap dokumen/Ranperda RZWP3K Bali. Acara ini dipimpin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diwakili Direktur Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi dan Kepala Subdit Zonasi Daerah Krishna Samudra yang sekaligus sebagai moderator acara. Sekda Propinsi Bali Dewa Made Indra, dan Ketua Pokja RZWP3K Made Sudarsana juga hadir dalam acara tersebut. Perwakilan WALHI dihadiri oleh I Wayan Gendo Suardana sebagai Dewan Nasional WALHI, Edo Rahman Koordinator Kampanye WALHI dan I Made Juli Untung Pratama.

Pada acara yang berlangsung lebih dari 3 jam lebih, Edo Rahman menyampaikan bahwa Dokumen Final RZWP3K tidak ada membahas secara rinci terkait potensi Bencana di pesisir Bali selatan. Padahal hal tersebut penting dimasukkan karena pada dokumen Final RZWP3K, pesisir Bali selatan banyak dijejali mega proyek infrastruktur dan properti. “menurut kami penting untuk memasukkan potret rawan bencana pesisir Bali selatan dalam dokumen final RZWP3K”, ujarnya.

Gendo yang juga sebagai Kordinator ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa), menyampaikan keberatannya kalau undangan yang diberikan kepada perwakilan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) hanya untuk memenuhi formalitas. Karena usulan-usulan yang disampaikan oleh WALHI tidak pernah diakomodir dalam pertemuan RZWP3K. Lebih lanjut Gendo menyampaikan, ketika Angkasa Pura I mengusulkan penambahan alokasi ruang untuk perluasan Bandara Ngurah Rai, langsung diakomodir dalam dokumen RZWP3K. “Protes WALHI tidak pernah diakomodir”, tegasnya.

Terkait Penetapan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim pada dokumen final RZWP3K, Gendo menyampaikan bahwa selama 6 tahun rakyat Bali berjuang habis-habisan untuk mengembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Lebih lanjut, Gendo menyampaikan bahwa logika tata ruang yang terjadi saat ini dengan contoh terbitnya Perpres Nomor 51 Tahun 2014, adalah logika tata ruang yang selalu mengakomodir proyek. Lebih lanjut, Gendo juga menjelaskan bahwa penerbitan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 adalah produk hukum pemutihan pelanggaran tata ruang yang dilakukan Gubernur periode Made Mangku Pastika. Lebih lanjut, Gendo juga menyampaikan bahwa saat ini Teluk Benoa juga sudah ditetapkan sebagai kawasan suci oleh Sabha Pandita PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia). Sehingga penetapan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim harusnya diakomodir dengan cepat. “Harusnya penetapan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim ini diakomodir dengan cepat”, ujarnya.

Terkait dengan rencana perluasan Bandara Ngurah Rai dengan cara reklamasi, Gendo menyampaikan bahwa rencana reklamasi Bandara Ngurah Rai menabrak kawasan konservasi. Lebih lanjut Gendo juga menyampaikan reklamasi untuk landasan Pacu Bandara Ngurah Rai yang exisiting sekarang, telah menyebabkan abrasi sejauh 50 meter dari Tuban hingga Kuta. Gendo pun menentang perwakilan Angkasa Pura I untuk membantah argumentasinya. “ayo dong perwakilan Bandara bantah saya”, tegasnya.

Atas tantangan yang disampaikan oleh Gendo, Pihak Bandara tidak ada satupun yang mau melakukan koreksi atas pernyataan yang disampaikan Gendo. Sehingga tidak adanya koreksi dari pihak bandara atas pernyataan Gendo, atas hal tersebut, secara tidak langsung pernyataan Gendo terkonfirmasi Benar.

Lebih jauh, Gendo menyatakan keberatannya atas alokasi ruang untuk perluasan Bandara Ngurah Rai masuk dalam dokumen final RZWP3K Bali. “Kami Keberatan dengan alokasi ruang untuk perluasan Bandara Ngurah Rai seluas 147,45 hektar”, ujarnya.

Gendo juga menyampaikan agar alokasi ruang untuk proyek PLTU Batu Bara di Celukan Bawang agar tidak dimasukkan ke dalam dokumen final RZWP3K Bali, karena tidak sesuai dengan visi Gubernur Bali yang sedang merencanakan energi bersih dan Gubernur Bali sudah tegas menolak pembangkit listrik dengan batu bara. “harus dipertimbangkan apakah tepat memasukan PLTU batu bara di dokumen final RZWP3K”, ujarnya.

Lebih lanjut, Gendo Juga mengkritisi masih dipertahankannya alokasi ruang untuk tambang pasir laut seluas 938,34 hektar di perairan lepas pantai Kuta. Gendo menjelaskan bahwa tambang pasir laut tersebut akan digunakan sebagai material reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai. Fakta hukum yang sesungguhnya terjadi adalah alokasi ruang untuk tambang pasir laut tersebut muncul karena sudah terbit terlebih dahulu izin eksplorasi tambang pasir laut pada era Gubernur Made Mangku Pastika per tanggal 12 Maret 2018. Izin tersebut diberikan kepada PT Hamparan Laut Sejahtera dan PT Pandu Khatulistiwa. Dimana alamat kantor, nomor telpon serta faximile dari kedua kantor tersebut sama. Gendo pun menegaskan bahwa WALHI tidak terima jika RZWP3K disusun untuk mengakomodir proyek tambang pasir laut. “tambang pasir ini belum eksisting dan mau dimasukkan. WALHI tidak terima”, tegasnya.

Terkait dengan pernyataan Gendo yang mengkrtisi tambang pasir laut, Made sudarsana selaku ketua pokja RZWP3K, pada intinya menyampaikan Bali saat ini tidak butuh tambang pasir untuk reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai. Saat ini, bali membutuhkan tambang pasir hanya untuk perbaikan pantai saja karena banyak pantai yang abrasi. “saat ini abrasi sangat masif terjadi di pesisir Bali. oleh karena itu kami butuh material untuk kegiatan perbaikan tersebut”, ujarnya.

Setalah pihak WALHI selesai menyampaikan tangapan atas dokumen final RZWP3K, WALHI menyerahkan surat protes terhadap dokumen RZWP3K melalui WALHI Bali. surat tersebut diterima oleh Krishna Samudra selaku moderator acara tanggpan dan/atau saran Dokumen Final RZWP3K Bali.

Lainnya:
Berita & artikel