Walhi: Pertemuan Strategis Harus Dimanfaatkan

Tanggal

JAKARTA – Sebagai salah satu lembaga pemerhati lingkungan terdepan di tanah air, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memandang diadakannya pertemuan internasional di bidang lingkungan, seperti kegiatan GCSS XI/GMEF di Bali, sebagai sesuatu yang cukup strategis. Bahkan Walhi melihatnya sangat strategis, lantaran ini merupakan pertemuan reguler yang sudah dilakukan hingga ke-11 kali.

“Karena (ini) pertemuan reguler, ketika Indonesia membawa isu penting yang memperjuangkan kepentingan domestik atau nasional, kalau (misalnya) tidak selesai pada pertemuan ini, kan bisa dibawa kembali pada pertemuan selanjutnya,” jelas M Teguh Surya, Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Walhi.

Kendati demikian, ungkap Teguh lagi, dalam event GCSS XI/GMEF yang akan berlangsung di Nusa Dua sepanjang 21-26 Februari ini, Walhi malah perlu mempertanyakan kepada Menteri Lingkungan Hidup (LH) khususnya maupun Presiden RI, kepentingan strategis nasional apa yang diperjuangkan di sana? “Gak ada sampai hari ini. Saya sebagai orang awam, maupun sebagai aktivis Walhi yang dianugerahi kemewahan informasi pun, gak dapat informasi sama sekali. Bayangkan (pula) bagi petani-petani,” kritiknya.

Seharusnya kata Teguh, terhadap poin-poin dalam event penting semacam ini, masyarakat Indonesia perlu tahu lewat informasi (pemberitaan) secara maraton, agar mereka mengerti. “Jangan nantinya masyarakat hanya melihat laporan berita sekadar kegiatan biasa. Targetnya apa? Tidak ada. Itulah kesalahan besar delegasi dan negosiator yang ikut dalam pertemuan internasional seperti ini,” sebutnya.

Menurut Teguh, terkait isu perubahan iklim sendiri, pihaknya sebelumnya bahkan pernah melaporkan kepada DPR RI, serta berniat untuk memanggil Presiden dan delegasi RI. Hal itu karena katanya, kejadian sama senantiasa terulang lagi, serta tidak ada proses pembelajaran oleh pemerintah Indonesia. “Lumrahnya, dalam setiap pertemuan pasti ada kesepakatan. Yang menjadi pertanyaan lagi, bagaimana kesepakatan itu bisa menguntungkan bagi kita,” tambahnya.

Teguh mencontohkan, sembilan tahun yang lalu misalnya, Indonesia pernah mengikuti pertemuan ASEAN terkait perdagangan bebas, serta menandatangani kesepakatan. “Tapi, apakah itu menguntungkan? Tidak. Hari ini, bukan hanya rakyat miskin yang menjerit, pengusaha pun ikut menjerit akibat kesepakatan itu. Nah, apa kita mau ini terulang lagi?” kritiknya, sambil menambahkan bahwa kalau kesepakatan itu hanya akan membuat rugi, lebih baik Indonesia tak menandatanganinya.

“Kita (harus) belajar sekarang. Yang paling penting (adalah) meminta negara impor mengurangi demand dan melakukan restorasi ekologi, karena hari ini Indonesia terus diminta menebang hutan, diminta tanam sawit oleh negara maju, kemudian diekspor ke negara mereka. (Sementara) di satu sisi Indonesia dituduh sama negara yang lain sebagai negara pengemis terbesar. Ini tidak fair,” kata Teguh lagi.

“Indonesia (di satu sisi) dituduh sebagai negara pengrusak lingkungan nomor satu. Tapi kita harus melihat, yang merusak bukan kita. Misalnya Freeport, itu Amerika. Bukan kita yang merusak hutan, tapi San Darbi. Itu dari Malaysia. Seharusnya, Indonesia kalau ada kesepakatan, mengarahkannya kepada minta pertanggungjawaban pemulihan LH. Karena hari ini, LH lebih penting dari segalanya. Karena kalau lingkungan rusak, ekonomi kita akan kolaps,” ujarnya menambahkan. (fm/ito/jpnn)


http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=58328

Lainnya:
Berita & artikel