PERNYATAAN SIKAP
TOLAK BALI INTERNATIONAL PARK
Dicanangkannya pembangunan Proyek Bali International Park (BIP) oleh pemerintah pusat telah membuat logika hukum menjadi jungkir balik. Hanya demi memuaskan kepentingan pemerintah pusat, beberapa aturan hukum pun rela diterobos. Bahkan tak jarang kebijakan yang sudah jelas-jelas ditetapkan akhirnya direvisi kembali untuk memuluskan mega proyek ini.
Berdasarkan berita media , pada April 2011, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika telah menengarai pembangunan proyek BIP ini bermasalah dalam status tanah. Atas dasar itulah Gubernur Bali masih belum memberikan rekomendasi atas proyek yang akan digunakan sebagai tempat pertemuan KTT APEC XXI. Hal ini menurutnya agar tidak terjadi persoalan hukum di kemudian hari.
Seiring waktu berjalan, persoalan status tanah proyek BIP yang semula terkunci rapat mulai terkuak juga. Sebelumnya, Komisaris Utama PT Jimbaran Hijau, Frans Bambang Siswanto menyatakan bahwa lahan seluas lebih kurang 200 hektare untuk pembangunan BIP adalah lahan miliknya pribadi. Tanah tersebut katanya diserahkan secara ikhlas untuk kepentingan negara.
Setelah ditelusuri, tanah tersebut ternyata tanah negara berstatus HGB (Hak Guna Bangunan). Tanah tersebut dikuasai oleh PT.CTS (Citratama Selaras) sejak tahun 1994 dan tidak pernah dikelola sesuai dengan ijin lokasinya. Berdasarkan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan PP 11/2010, tindakan penelantaran tanah selama lebih dari 17 tahun itu haruslah diberi sanksi pencabutan hak atas tanah karena merugikan negara dan menghalangi masyarakat untuk mengakses kesejahteraan.
Namun, bukan sanksi pencabutan hak yang didapat oleh PT.CTS, malah instruksi dari pemerintah pusat untuk mempercepat pengalihan hak pada PT. JH (Jimbaran Hijau) selaku penggarap proyek BIP. Di tengah upaya pemerintah pusat mempercepat pembangunan BIP, Gubernur Bali akhirnya mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah sudah sesuai prosedur.
Ternyata rekomendasi persetujuan pengalihan hak atas tanah yang dikeluarkan Gubernur Bali berbuntut masalah di kemudian hari. Menurut Kepala BPN Badung, Tri Nugraha, Peralihan tanah PT CTS kepada PT JH belum sah secara yuridis. Sehingga terindikasi dapat merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah. Seharusnya dibuatkan akte jual-beli di PPAT dan membayar PPH (Pajak Penghasilan) & PPHTB (Pajak Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang menurut BPN Badung sebagaimana dilansir oleh media extremepoint.com berjumlah sekitar 20 milyar rupiah. Atas dasar itulah Bupati Badung, AA. Gde Agung, hingga kini bertahan menolak pemberian ijin megaproyek BIP selama persoalan pertanahan ini belum tuntas.
Sikap berpegang teguh pada peraturan ini ternyata dipandang pemerintah pusat sebagai hambatan dalam memuluskan proyek BIP. Menbudpar Jero Wacik berupaya menekan bupati Badung dengan mengirim surat “sakti” untuk mempercepat ijin dan tidak mempermasalahkan status tanah proyek BIP. Menghadapi tekanan dari pemerintah pusat, Bupati Badung tetap bertahan dan berpedoman sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sikap independensi Bupati Badung ini patut diapresiasi karena tetap konsisten berpedoman pada hukum sekalipun harus bertentangan dengan keinginan pemerintah pusat. SIkap ini seharusnya ditiru oleh Gubernur Bali agar jeli dan tidak mudah diintervensi pemerintah pusat dalam mengeluarkan rekomendasi.
BIP sendiri merupakan mega proyek yang menambah beban lingkungan dengan rencana awal pembangunannya berupa 23 wisma presiden, Hotel dengan 200 kamar, convention hall. Berdasarkan perhitungan WALHI-BALI, kebutuhan rata-rata air bersih untuk bangunan awal BIP adalah minimal 669.000 liter air bersih per harinya. Hal ini setara dengan kebutuhan sekitar 4500 orang penduduk kuta selatan atau setara 669 KK. Jumlah tersebut belum terhitung kebutuhan air dalam proses pembangunan fasilitas pelengkap BIP lainnya. Belum lagi persoalan limbah dan sampah yang dihasilkan sehingga bisa dipastikan akan menambah beban lingkungan yang makin menumpuk.
Menyikapi hal tersebut, kami kelompok solidaritas yang terdiri dari Walhi-Bali, Frontier Bali, mahasiswa dan individu yang peduli kelestarian lingkungan Bali menyatakan:
1.Mendukung Langkah Bupati Badung yang menolak mengeluarkan Ijin bagi BIP karena tidak memenuhi syarat-syarat dan peraturan pertanahan. Kami juga memandang Bupati Badung konsiten berpedoman pada peraturan dan bersikap independen dari intervensi pemerintah pusat.
2.Mempertanyakan kapasitas Gubernur Bali dalam rekomendasi persetujuan pengalihan hak atas tanah dari PT. CTS ke PT. JH, dimana pengalihan hak atas tanah ternyata masih bermasalah secara hukum pertanahan.
3.Dengan Tegas Menyatakan menolak Pembangunan Bali International Park yang jelas-jelas membebani daya dukung lingkungan Bali serta mengabaikan UUPA dan PP 11/2010 Tentang Tanah Terlantar.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan demi terwujudnya penataan lingkungan Bali yang berkelanjutan dan terciptanya keadilan agraria.
Denpasar, 19 Agustus 2011
1.WALHI BALI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
2.FRONTIER-BALI (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat)
Humas :
A. Haris (081805528335)