JALAN DIATAS PERAIRAN PROYEK PESANAN APEC
Oleh: I Komang Sastrawan*
Kemacetan di Bali merupakan isu yang hangat dari periode-periode sebelumnya terlebih di daerah Bali Selatan terutama di kawasan Denpasar dan Badung. Ditenggarai dampak dari pariwisata memberikan sumbangan yang besar dalam masalah kemacetan. Kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah daerah dalam memecahkan masalah ini adalah dengan membangun jalan baru. Sebagai gambaran, tercatat dua proyek besar pembangunan jalan tersebut adalah sunset road dan jalan bypass Ida Bagus Mantra. Pembangunan jalan baru selalu menjadi pakem absolute dari pemerintah dalam pemecahan permasalahan kemacetan ini.
Perkembangan sekarang yang paling hangat adalah adanya rencana dari pemerintah untuk membangun jalan (tol) di atas Perairan (JDP). Pembangunan ini sendiri dilaksanakan oleh Konsorsium yang terdiri dari 4 BUMN yaitu: PT. Angkasa Pura II, PT. Jasa Marga, PT. Pelindo III dan PT. BTDC. Tidak jauh beda dengan alasan sebelumnya, proyek JDP ini juga dilandasi dengan alasan yang sama bahwa Bali Selatan khususnya di Denpasar dan Badung terutama dari ruas jalan Benoa samapai Nusa Dua mengalami kemacetan yang dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan masyarakat. Ditengah fakta kemacetan tersebut, gagasan ini tentu saja dipandang sebagai gagasan yang menyegarkan bagi masyarakat. Ditengah kejenuhan masyarakat dengan permasalahan kemacetan, akhirnya yang terlintas langsung dalam benak masyarakat adalah; jalan baru maka kemacetan berlalu.
Pertimbangan yang lain seketika menjadi lenyap begitu saja. Fakta bahwa pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di Bali seiring sejalan dengan peningkatan kemacetan itu sendiri tidak menjadi pertimbangan lain. Padahal bila ditelusuri lebih cermat, penyebab utama kemacetan di Bali terutama di Denpasar dan Badung bukan hanya karena persediaan jalan melainkan karena pemerintah gagal dalam menyediakan sarana transportasi publik serta gagal dan membangun manajemen transportasi publik yang optimal. Faktor inilah yang pada akhirnya memacu peningkatan jumlah kendaraan dari periode ke periode. Namun demikian kepemilikan kendaraan pribadi yang volume begitu besar bukanlah satu-satunya faktor kemacetan di Bali. Disisi lain bidang pariwisata juga berkontribusi besar terhadap permasalahan kemacetan ini. Kondisi obyektifnya, setiap industri pariwisata memberikan pelayanan transportasi ekslusif bagi kliennya, seperti hotel, vila, restoran, spa serta industri pariwisata dibidang hiburan. Belum terlebih lagi perusahaan tour and treveling yang memang notabene bergerak dibidang transportasi. Bayangkan saja berapa banyak ada akomodasi pariwisata yang semuanya memberikan jasa trasportasi, berapa jalan dipenuhi oleh mobil-mobil pariwisata?
Terkait dengan pembangunan JDP. apakah benar-benar dapat menanggulangi kemacetan? Pertama; pembangunan JDP terdapat empat persimpangan, satu persimpangan ditengah perairan dan tiga persimpangan di darat, diantaranya; persimpangan di darat diantaranya : 1) persimpangan dengan jalan di Nusa Dua, 2) persimpangan di Patung Ngurah Rai Tuban, dan 3) persimpangan di Pelindo Benoa. Berbicara simpangan tidak terlepas dari pengalaman sebelumnya yaitu persimpangan Patung Dewa Ruci (Kuta). Awalnya pembangunan persimpangan tersebut direncanakan persimpangan langsung laju tanpa trificlight. Tapi guna menahan agar tidak terjadi tabrakan arus dari dua arah menuju tiga arah maka dipasangkanlah traficlight. Penumpukan kendaraan tiap detik pun terjadi sehingga kemacetan pun terjadi. Tak ayal persimpangan tersebut disebut sebagai simpang siur, sindiran yang tepat atas kemacetan dan kesimpangsiuran persimpangan tersebut. bahkan saat ini persimpangan tersebut adalah titik macet yang luar biasa di ruas Bypass Ngurah Rai. Begitu juga nantinya adanya 3 titik persimpangan dalam rencana pembanguan JDP. Tidakah pada akhirnya menumbuhkan 3 titik kemacetan yang baru. Karena pada ketiga titik persimpangan tersebut akan terjadi pemberhentian jeda beberapa detik tentunya akan menimbulkan tumpukan kendaraan–kendaraan berikutnya sehingga timbulah kemacetan.
kedua, dengan dibangunnya JDP tersebut menimbulkan kesan Bali lebih nyaman karena gambaran umumnya di Bali tidak ada kemacetan. Hal ini dapat dikatakan sebagai sekedar alasan yang dicari-cari oleh para investor untuk menanamkan modalnya di Bali. Padahal apabila diteliti lebih jauh, pembangunan JDP ini tidak lebih sebgai proyek untuk kepentingan penyelenggaraan APEC. Menariknya, sebelumnya rute dari pembangunan jalan ini adalah dari Pulau Serangan menuju Benoa. Rencana itu sebetulnya telah menjadi rencana dalam Perda RTRW Propinsi Bali. Namun tiba-tiba proyek jalan tersebut diubah rutenya dari Benoa s/d Nusa Dua hanya karena momentum penyelenggaraan APEC. Konsekwensinya, perubahan tersebut secara otomatis menuntut revisi Perda RTRW Propinsi Bali.
Dengan demikian pembanguan JDP ini bukan murni dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan. Rencana ini hanyalah bagian dari sebatas proyek yang aji mumpung, dalam artian mumpung ada penyelenggaraan APEC dan mumpung didukung oleh pemerintah pusat. Persoalannya bukan sebatas menerima atau menolak, namun permasalahannya adalah kejujuran pemerintah dalam setiap kebijakan pembangunannya. Karena pijakan kejujuran ini pula yang akan menjadi ukuran apakah kebijkan tersebut benar-benar untuk rakyat atau sebatas kepentingan uang semata pihak-pihak tertentu.
Dilain sisi, perubahan rute JDP tentu saja harus dibarengi dengan satu kajian mendalam. Kajian pembagian jalan atas rute awal tidak bisa secara serta merta dijadikan kajian untuk rute yang baru. Apabila itu tidak dilakukan maka proyek JDP bukanlah benar-benar untuk mengatasi kemacetan, pada saat yang sama solusi alternative bagi penataan transportasi publik juga tidak terpikirkan.
Dengan permasalahan ini tentunya pemerintah harus mengambil tindakan yang tepat bukan yang instan seperti pembangunan JDP ini. Kalau pemerintah mampu menyediakan alat trasportasi publik yang maksimal dari segi kuantitas, kualitas dan ekonomis masalah kemacetan tentunya dapat diatasi. Dan bukan berdiri teguh diatas pakem baku yaitu bangun jalan baru untuk mengatasi kemacetan.
*Penulis adalah: Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali