Oleh: I Wayan Gendo Suardana**
Membaca tulisan opini di harian Fajar Bali (20 Juli 2011) halaman 5-6 yang berjudul “MICE dan BIP”, penulis tertarik untuk menanggapi opini tersebut. terlebih penulis adalah bagian dari kelompok LSM penolak BIP yang diberikan sarat pesan dan harapan terutama pada akhir tulisan opini tersebut.
Overcapacity akomodasi di Bali Selatan
Gelombang pembangunan akomodasi pariwisata di Bali terlihat pesat pasca studi masterplan pariwisata Bali oleh SCETO. Kebijakan yang diterapkan berdasarkan studi tersebut memang terbukti mampu meningkatkan kedatangan pariwisata secara signigfikan dari tahun ke tahun. Konsekuensinya daerah kawasan segitiga emas tersebut mulai dipadati dengan investasi. Terjadi penumpukan pembangunan fasilitas pariwisata di daerah tersebut. Dimulai dengan pembangunan resort pada tahun 1974 di Nusa Dua dibawah manajemen Bali Tourism Development Corporation (BTDC), selanjutnya pembangunan fasilitas pariwisata di daerah segitiga emas tersebut begitu pesat terutama menyasar daerah pesisir. Hal ini menyebabkan ketimpangan pembangunan di bali selatan dengan Bali Utara
Ketimpangan pembangunan inipun sedari awal disadari oleh Gubernur I.B. Mantra yang menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 15 Tahun 1988 tentang 15 Kawasan Wisata, guna mengatasi hal tersebut sekaligus mengurangi penumpukan di daerah Bali Selatan. Bahkan oleh Penggantinya (Gubernur I.B. Oka) menambah kawasan wisata menjadi 21 kawasan. Dengan demikian kawasan wisata di Bali menjadi 1, 437 km2 -hampir seperempat luas Pulau Bali-memicu penguasaan tanah-tanah milik orang Bali oleh investor asing maupun domestik.
Kejenuhan atas pembangunan di Bali Selatanpun terus menjadi perhatian banyak pihak. Bahkan pada tahun 2010 Kemendbudpar berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa wilayah Bali selatan sudah mengalami over capacity sebanyak 9.800 kamar. Di beberapa media massa Jro Wacik malah menyarankan agar dilakukan moratorium terhadap pembangunan akomodasi dikawasan Bali Selatan. Senada dengan itu, Gubernur Bali (I Made Mangku Pastika) juga memberikan sinyal yang sama mengenai kebutuhan akan adanya moratorium pembangunan di daerah Bali Selatan. Entah kenapa tiba-tiba kesadaran akan jenuh pembangunan di Bali Selatan dan kesadaran mengenai beban lingkungan hidup menjadi sirna bersamaan dengan datangnya megaproyek BIP (Bali International Park)
“Bius” megaproyek BIP melanda Bali
Berbagai pengamatan dan kajian atas pembangunan akomodasi pariwisata mulai meredup bahkan terkesan “dijilat” kembali dengan berbalik mendukung pembangunan BIP tanpa reserve. Angka overcapacity sebanyak 9.800 kamar tidak lagi menjadi angka yang signifikan untuk diperhatikan, ketimpangan pembangunan antara Bali Selatan dan Bali Utara menguap entah kenapa.
Opini tiba-tiba menjadi lurus dalam harmoni bahwa di Bali tidak ada persoalan lingkungan akibat dari massifnya pembangunan akomodasi pariwisata. Seluruh refleksi atas kerusakan Pulau Serangan akibat reklamasi PT. BTID yang mangkrak atau hancurnya daratan pesisir Pantai Dreamland, tidak maksimalnya Bali Pecatu Graha atau bahkan tatapan sedih ke patung di GWK yang tidak kunjung selesai lalu meminta agar pemerintah mengambilalih karena investor tak kunjung bertanggungjawab, tidak menyurutkan keinginan untuk secara kritis menyikap megaproyek BIP.
Hampir seluruh jajaran pemerintahan mulai dari pusat hingga di daerah bahkan termasuk kelompok sipil menjadi terpaku dan terpesona dengan hadirnya BIP dengan segala janji-janji dan bayangan prestisiusnya bila BIP terwujud. Pihak yang pro BIP larut dalam efouria masterplan BIP sebagai MICE masa depan Bali yang akan menjadi destinasi pariwisata mumpuni di kemudian hari. 3 masterplan ibarat menyulap daerah gersang menjadi istana megah dengan 23 Wisma Presiden peserta APEC, Convention Hall yang menampung 10.000 peserta dan Convention Hotel sebanyak 200 kamar.
Bukankah dulu konsep dari PT. BTID adalah menyelamatkan penyu dan menyelamatkan Pulau Serangan dari abrasi? Lalu apa yang terjadi? Saat ini penyu sudah tidak berhabitat disana, nelayan susah melaut, terumbu karang ratusan hektar rusak termasuk hutan bakau yang menjadi korban. Lalu dimanakan konsep yang indah itu? Demikian juga dengan GWK,. Dimanakah konsep yang indah itu akan ditemui? Dimanakah patung agung Dewa Wisnu dengan Burung Garudanya yang gagah itu? Mengapa yang terlihat hanya patung yang terpotong-potong layaknya korban mutilasi?
Bila dikaitkan dengan masterplan BIP, tidakah hal yang sama akan terjadi. Masterplan tersebut kembali hanya akan menjadi mimpi-mimpi indah sementara lingkungan terlanjur rusak, keseimbangan lingkungan dikuras dan nasib petani penggarap terlanjur termajinalkan. Seandainya itu yang terjadi, siapa yang bertanggungjawab? Lalu kemana larinya para pendukung ketika proyek itu dulaksanakan? Pertanyaan ini mengemuka karena faktanya setiap kali megaproyek mengalami kegagalan masyarakat penolak proyeklah yang menjadi korban dan mereka yang merehabilitasi lignkungan seperti yang dilakukan Wayan Patut di Pulau Serangan. Sementara investornya cuci tangan dan malah membangun mega proyek lain dan para “pahlawan pembela proyek” hanya diam sambil menunggu megaproyek lain untuk “dibela”.
Sesat pikir megaproyek BIP
Demikian pula dengan argumentasi bahwa BIP dibangun berdasarkan munculnya keluhan atas MICE yang selama ini masih terbatas. Namun demikian argumentasi ini patut dipertanyakan terutama mengenai keluhan keterbatasan kapasitas. Apakah keluhan itu nyata ataulah hanyalah dramatisasi agar megaproyek instan ini mendapatkan pembenaran, mengingat selama ini pertemuan tetap digelar di Bali tanpa cacat. Bahkan pada KTT. Perubahan iklim yang digelar tahun 2007 melibatkan 12.000 peserta yang dilaksanakan di kawasan BTDC Nusa Dua berjalan sukses. Jumlah 12.000 peserta tersebut melebih estimasi 10.000 kapasitas convention hall BIP.
Argumentasi ini selalu dimunculkan sebagai isu utama seakan-akan bila tidak dibangun convention hall BIP maka Bali tidak akan menjadi daerah tujuan MICE. Harus diakui bahwa pemilihan isu destinasi MICE bagi Bali dalam konteks pembangunan BIP telah sukses membalikan logika berpikir banyak pihak. Akibatnya banyak yang lupa bahwa selain convention hall akan dibangun hotel dengan 200 kamar yang sejatinya bertentangan dengan hasil penelitian Kemenbudpar yang menyatakan bahwa Bali Selatan telah overcapacity 9.800 kamar. Terdapat 23 Wisma Presiden, danau buatan dan fasilitas lain yang akan mengkonsumsi banyak sumberdaya termasuk energi.
Kecerdasan pikiran banyak pihak terbungkam dan melupakan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan Bali semakin terbatas. Melupakan Bali yang diprediksi krisis air pada tahun 2015 sebesar 27, 6 Milyar M³/tahun dimana over konsumsi air justru terjadi disektor industri pariwisata yang berbanding terbalik dengan konsumsi rumah tangga. Bahkan disaat yang sama nurani tidak lagi mengindahkan adanya konflik agrarian yang memarjinalisasi petani penggarap yang sejak turun temurun menempati tanah dikawasn yng akan dibangun BIP. Demi BIP, demi APEC, demi martabat bangsa dan negara, lingkungan hidup Bali dikorbankan, ketidakadilan lingkungan terjadi dan petani harus meringis kehilangan haknya.
Penolakan BIP termasuk yang dilakukan oleh penulis bukanlah dalam posisi asal tolak atau sok pahlawan. Penolakan yang dilakukan jelas-jelas adalah berdasarkan argumentasi yang obyektif dari berbagai perspektif baik historis maupun kajian lingkungan serta kajian agrarian. Masalah kepahlawanan bukanlah domain yang tepat dalam konteks ini, tapi bilamana hal tersebut harus dijadikan ukuran , maka tidak usah menunggu lama karena sikap atas ekspolitasi alam di Bali yang dibungkus kepentingan pariwisata jelas terbukti sebagai kebenaran, Pulau Serangan, bali Pecatu Graha, kawasan GWK adalah bukti tak terbantahkan. Belum lagi bila kita menghitung kerentanan lingkungan hidup di Bali. Justru diharapkan kelompok pro megaproyek BIP agar kembali ke bumi dan segera bangun dari bius megaproyek BIP yang patut ditelusuri track record investasinya di Bali ataukah pihak-pihak pro BIP sudah menasbihkan diri sebagai “pahlawan megaproyek” yang akan mempecundangi lingkungan hidup Bali? Bilamana berpikir tentang bali kedepan, maka saatnya untuk tidak mengekspolitasi lingkungan hidup di Bali atas nama pariwisata dengan merencanakan pembangunan pariwisata. Tentu saja selalu berefleksi atas kerusakan ekologi Bali dimasa lalu agar tidak terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
*Tulisan ini telah dimuat di Harian fajar Bali edisi Jumat, 22 Juli 2011 halaman 1
**Penulis adalah Ketua Dewan Daerah WALHI Bali (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Daerah Bali)