Tanggal

ADA REKLAMASI DI BALIK PANSUS APZ?*

Oleh: I Wayan Gendo Suardana**

Ada yang menarik dari keputusan politik DPRD Bali yang memilih pembentukan Panitia Khusus Arahan Peraturan Zonasi (Pansus APZ). Jika dirunut secara kronologis, salah argumentasi dasar pembentukan Pansus APZ adalah mengakomodir masalah reklamasi Teluk Benoa ke dalam pansus. Hal ini terjadi setelah DPRD Bali tidak berani (tidak mau dan tidak mampu)  membongkar mafia reklamasi Teluk Benoa melalui Pansus dan tidak kunjung berani menerbitkan keputusan politik yang menyatakan sikap DPRD Bali menolak Rencana Reklamasi Teluk Benoa.

Secara sekilas, pembentukan Pansus APZ tidak berdampak serius terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Terlebih lagi pembentukan Pansus APZ ini dibarengi dengan argumentasi yang seolah-olah dilandasi kekhawatiran anggota Dewan akibat banyaknya pelanggaran tata ruang di Bali. Sehingga dibutuhkan Pansus APZ untuk mengatasi kekacauan akibat pelanggaran tata ruang.

Sungguh argumentasi yang menarik, namun tidak demikian adanya jika kita cermati lebih seksama, ada apa di balik pembentukan Pansus APZ?

Ada beberapa hal menguatkan dugaan Penulis bahwa pembentukan Pansus APZ tidak semata-mata berangkat dari niat baik untuk menertibkan tata ruang, Namun, Pansus ini sangat erat kaitannya dengan kelangsungan pelaksanaan rencana reklamasi Teluk Benoa diantaranya; 1) Kedudukan Perpres No. 51 tahun 2014 dan 2) Hasil rapat kerja antara Komisi IV DPR-RI.

Secara hukum terbitnya Perpres no. 51 tahun 2014 telah mengubah kawasan perairan Teluk Benoa menjadi kawasan Budi daya (tidak lagi menjadi kawasan konservasi perairan). Akibat  hukumnya,  kawasan tersebut dibenarkan untuk direklamasi karena Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya melarang tegas reklamasi di kawasan konservasi dan alur laut. Terlebih lagi  dalam Perpres No. 51 tahun 2014 dinyatakan bahwa Teluk Benoa dibenarkan untuk  reklamasi paling luas 700 ha. Artinya sepanjang Perpres No. 51 Tahun 2014 ini berlaku maka rencana reklamasi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.

Selanjutnya terkait dengan kedudukannya dalam rezim tata ruang  (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), Perpres No. 51 Tahun 2014 adalah sebagai kawasan strategis nasional. Dalam hirarki hukumnya maka segala pengaturan tata ruang dibawahnya yang bertentangan dengan Perpres 51 Tahun 2014 dinyatakan tidak berlaku (walaupun pengaturan yang bertentangan itu terbit lebih dahulu). Dengan demikian, secara hukum seluruh peraturan yang terkait dengan Teluk Benoa baik Perda RTRW Propinsi Bali, Perda RTRW Propinsi Badung dan Perda RTRW Kota Denpasar harus tunduk dengan Perpres No. 51 Tahun 2014. Hal ini juga berlaku terhadap Peraturan daerah mengenai arahan peraturan zonasi baik di Propinsi maupun di kabupaten/kota. Oleh karena masih berlakunya Perpres No. 51 Tahun 2014 maka dapat dipastikan hasil kerja Pansus APZ dalam konteks zonasi Teluk Benoa akan mengatur arahan zonasi Teluk Benoa sebagai kawasan budidaya.

Tentu ada pertanyaan, apa hubungannya hasil kerja Pansus APZ dengan rencana Reklamasi Teluk Benoa? Secara sederhana pertanyaan ini dapat dijawab dengan memperhatikan  hasil rapat kerja Komisi IV-DPR RI dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang pada rekomendasi politiknya angka 6, selain meminta agar pemerintah c.q. Menteri Susi Pudjiastuti tidak melanjutkan reklamasi Teluk Benoa,  Komisi IV juga minta agar ada  pengkajian ulang proses agar sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2014.

Terkait dengan izin pemanfaatan ruang, UU No. 1 Tahun 2014 mensyaratkan adanya rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (vide pasal 16 dan 17 UU No. 1 Tahun 2014). Hal yang sama secara tersirat dalam Pasal 122 ayat (2) Perpres No. 51 Tahun 2014. Artinya, dalam konteks rencana reklamasi Teluk Benoa, adanya peraturan daerah tentang arahan peraturan zonasi mutlak diperlukan sebagai dasar pemberian ijin reklamasi. Saat ini peraturan zonasi Propinsi Bali belum terbentuk sehingga hal ini merupakan kendala perolehan ijin reklamasi Teluk Benoa. Jika merunut kembali agresifitas penguasa dalam pemberian ijin reklamasi termasuk dengan memaksakan perubahan kawasan Teluk Benoa dari konservasi menjadi kawasan budidaya, tidak aneh jika terdapat dugaan kuat bahwa pembentukan Pansus APZ adalah bagian dari upaya memuluskan reklamasi Teluk Benoa dengan membentuk arahan peraturan zonasi sebagai dasar legalitas perijinan reklamasi Teluk Benoa.

Dugaan ini menguat tatkala DPRD Bali sampai saat ini tidak melakukan tindakan politik untuk mempertanyakan pembentukan Perpres No. 51 Tahun 2014, padahal proses pembentukan Perpres tersebut secara kasat mata sebagai pemberian alas hukum bagi reklamasi di Teluk Benoa dapat dipertanyakan keabsahannya. Demikian pula sampai saat ini DPRD Bali seperti enggan mengeluarkan sikap politik menolak reklamasi Teluk Benoa dan cenderung berada di zona abu-abu. Alasan yang kerapkali disampaikan bahwa pencabutan rekomendasi DPRD Bali atas reklamasi Teluk Benoa telah dilakukan. Pada titik ini DPRD Bali seolah-olah tutup mata dan telinga atas seluruh kejanggalan kasus reklamasi Teluk Benoa padahal secara kualitas kasus ini adalah parameter besar dalam tata kelola ruang Bali.

Berdasarkan seluruh paparan Penulis di atas maka cukup alasan untuk menduga bahwa DPRD Bali memang tidak punya kemauan politik untuk membongkar seluruh kejanggalan proses perijinan rencana reklamasi Teluk Benoa kecuali secara diam-diam mendukung reklamasi Teluk Benoa. Cara tersebut dilakukan termasuk dengan cara membentuk Pansus APZ yang pada akhirnya akan menjadi alas hukum untuk memuluskan perijinan reklamasi Teluk Benoa. Dengan demikian, sudah saatnya rakyat membuka mata atas posisi DPRD Bali dan mencatatnya dalam memori terdalam untuk selanjutnya mengadili mereka pada setiap perhelatan pemilihan politik.

========================================

*Tulisan ini dimuat di Koran Harian Bali Post, 7 Februari 2015, hal 1 & 27

**Penulis adalah Koordinator Umum ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi –Teluk Benoa) dan Dewan Daerah WALHI Bali.

Lainnya:
Berita & artikel