Oleh;
Agung Wardana
Bali menjadi sorotan masyakarat dunia saat berlangsungnya COP 13 UNFCCC, hingga konsensus yang dihasilkan pun diberi nama Bali Roadmap (Peta Jalan Bali) untuk mengingatkan semua orang akan apa yang terjadi di Bali untuk mengatasi perubahan iklim. Tapi mungkin tak banyak yang tahu, ditengah hiruk-pikuk dan sanjungan yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia, ada kemunafikan yang sedang menunggu dan tak diketahui publik secara luas.
Antara Perubahan Iklim dan Eksploitasi SDA
Dampak perubahan iklim tidak akan berhenti dengan kita berhenti membicarakannya. Dampak perubahan iklim akan tetap mengancam kehidupan kita, jadi setiap saat kita harus mewacanakannya, memasukkannya pada agenda pembangunan.
Nama Bali, sebuah pulau kecil, menjadi catatan dalam sejarah manusia di bumi karena Bali menjadi saksi diputuskannya konsensus untuk menyelamatkan dunia dari perubahan iklim. Dan yang tak kalah penting, walaupun konsensus tersebut banyak mengandung kelemahan, paling tidak dapat menarik Amerika Serikat, negara maju yang selama ini skeptik dengan perubahan iklim, untuk bergabung dengan konsensus.
Untuk pertama kali pula, masyarakat Bali mempunyai posisi yang tegas dengan mengkampanyekan Nyepi (Silent Day for the Earth) dan mampu mempengaruhi wacana yang berkembang pada konferensi internasional tersebut. Mungkin apa yang telah dilakukan masyarakat Bali akan menjadi inspirasi bagi masyarakat belahan bumi lainnya, namun prilaku pemerintah Bali sendiri tidak sejalan dengan upaya pengatasi perubahan iklim.
Kita tahu bersama, perubahan iklim merupakan signal dari gagalnya sistem ekonomi global yang berbasiskan bahan bakar fosil. Pola produksi dan pola konsumsi yang boros energi dan bahan bakar fosil telah melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfir sehingga memanaskan bumi kita. Ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam di negara selatan untuk kepentingan pasar di negara utara mempercepat laju kerusakan ekologis dan membawa negara berkembang menjadi sangat rentan terkena dampat perubahan iklim. Pola penghisapan negara berkembang oleh perusahaan negara maju tidak akan terjadi tanpa uluran tangan dari elit di negara berkembang itu sendiri.
Tahun 2003 lalu, pemerintah mengundang investor luar negeri untuk kembali menghisap cadangan migas Indonesia. Lewat penandatangan kontrak baru migas yang keseluruhannya bernilai US$ 170,269 juta, telah mulai babak lanjutan semangat ’obral murah’ dan ’jual habis’ sumber daya alam kita.
Menariknya, salah satu blok yang dikonsesikan terletak di Bali, yakni kurang lebih 4 mil dari Pantai Utara Bali (Blok Agung 1). Pemerintah Provinsi Bali, bersama Departemen ESDM dan Santos North Bali PTY Ltd telah melakukan penandatangan kontrak 14 Oktober 2003. Meski dikatakan Blok Agung 1 di Utara Bali menyimpan potensi migas yang besar, namun Santos PTY Ltd sebagai operator dalam eksploitasinya belum menemukan potensi yang dimaksud sehingga aktivitas kontrak dikembalikan kepada pemerintah.
Bukan berarti dengan cabutnya Santos PTY Ltd dari proyek ini kemudian kita bisa tenang kembali, mengingat pemerintah sendiri sedang menawarkannya kepada perusahaan-perusahaan lain.
Saatnya Menentukan Sikap
Hal ini harus menjadi pemikiran kita bersama, apakah kita sebagai masyarakat Bali akan menerima eksploitasi ini jika kelak dilanjutkan oleh perusahaan lain?? Mengingat Bali telah mengklaim diri telah berkontribusi positif untuk menurunkan emisi gas rumah kaca lewat Nyepi selama 24 jam.
Apa memang ini yang disebut Rwa-Bhineda, dimana kita telah terbukti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca, kemudian kita punya hak untuk melepaskan emisi dari migas yang dihasilkan dari kedalaman 100 hingga 970 meter di perut ibu pertiwi kita???
Atau ini adalah sebuah kemunafikan???
Penulis,
Aktivis WALHI/ Friends of the Earth Indonesia
Tinggal di Tabanan