Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim KLH

Tanggal

RENCANA AKSI NASIONAL DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Juli 2007

DAFTAR ISI

BAB I LATAR BELAKANG
1.1 Kekhasan Indonesia dalam Konteks Perubahan Iklim
1.2 Status Krisis Sosial Ekologis Indonesia Sekarang
1.2.1 Kerusakan ekologis
1.2.2 Sumber daya air
1.2.3 Sektor perumahan dan pemukiman
1.2.4 Sektor energi
1.2.5 Sektor kehutanan
1.3. Komitmen Indonesia Menjaga Iklim Global melalui Penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim dan Ratifikasi Protokol Kyoto

BAB II TUJUAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM RANGKA ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM
2.1 Pola Pembangunan Sampai dengan Sekarang
2.2 Tujuan Pembangunan Nasional dengan Agenda Antisipasi Perubahan Iklim
2.3 Prinsip Pengelolaan Pembangunan Nasional
2.4 Kerangka Waktu Strategi dan Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional
2.5 Strategi Spesifik untuk Wilayah Kebijakan Kunci
2.6 Sektor-Sektor Produksi dan Pengurusan Publik Utama
2.7 Kondisi keterbatasan waktu dan skala ruang dari RAN serta cakupan kebutuhan untuk integrasi kebijakan

BAB III RENCANA AKSI NASIONAL UNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
3.1 Mitigasi
3.1.1 Sektor Energi
3.1.2 Sektor Kehutanan
3.2 Adaptasi

BAB I
LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia terdiri dari 17.500 pulau, terletak antara 06°08’ Lintang Utara – 11°15’ Lintang Selatan, dan antara 94°45’ – 141°05’ Bujur Timur. Luas Indonesia meliputi 3,1 juta km2 wilayah perairan (62% dari total luas) dan sekitar 2 juta km2 wilayah daratan (38% dari total luas), dengan panjang garis pantai 81.000 km. Jika Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2 dimasukkan area teritorial total Indonesia menjadi 7,8 juta km2.

Keseluruhan wilayah kepulauan rentah terhadap gempa bumi dan gelombang pasang. Hal ini disebabkan karena posisi dua paparan, Paparan Sunda, yang merupakan kelanjutan daratan Asia, dan Paparan Sahul, yang merupakan bagian dari gabungan Australia dan New Guinea. Kedua paparan ini membelah kepulauan menjadi tiga kelompok pulau-pulau. Jawa, Sumatera dan Kalimantan berada di atas Paparan Sunda, mulai dari pantai Malaysia dan Indo China. Kedalaman laut di paparan ini tidak lebih dari 233 meter. Irian Jaya dan Kepulauan Aru berada di atas Paparan Sahul, yang juga memilii kedalaman sekitar 233 meter. Kelompok kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi berada di antara Paparan Sunda dan Sahul, dengan kedalaman lebih dari 5000 meter.

Hasil kajian IPCC – Inter-Governmental on Climate Change – (2007) terkini menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 sebelas dari dua belas tahun terakhir (antara tahun 1995-2006) merupakan tahun-tahun terpanas. Kenaikan temperatur total dari 1850 sampai 2005 adalah 0,76 derajat C. Dan muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1,8 mm per tahun dalam rentang waktu antara 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global tersebut akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya menguranginya. Pemanasan global tersebut mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas iklim ekstrim. IPCC menyatakan pula bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis.

Tidak adanya upaya yang sistematis dan terintegrasi yang dilakukan dari sekarang untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dan perbaikan kondisi lingkungan lokal dan global, maka dampak yang ditimbulkan akibat adanya variabilitas iklim ke depan akan semakin besar dan akan berdampak pada sulitnya mencapai sistem pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan yang mendasar dalam sistem perencanaan pembangunan. Masalah variabilitas iklim saat ini dan mendatang harus dijadikan sebagai salah satu peubah penting dalam menentukan dasar-dasar perencanaan pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah maupun panjang.

Penanganan perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen variabilitas iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan mengantisipasi dampak perubahan iklim global jangka-panjang secara komprehensif. Juga membutuhkan pendekatan lintas-sektor baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Dalam menghadapi perubahan iklim, peningkatan ketahanan sistem dalam masyarakat untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi dan mitigasi. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Namun upaya tersebut akan sulit memberi manfaat secara efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, adaptasi harus diimbangi dengan mitigasi, yaitu upaya mengurangi sumber maupun peningkatan rosot (penyerap) gas rumah kaca, agar supaya proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Dengan demikian, generasi yang akan datang tidak terbebani lebih berat oleh ancaman perubahan iklim dalam kelanjutan proses pembangunan selanjutnya.

1.1 Kekhasan Indonesia dalam Konteks Perubahan Iklim

Indonesia memiliki kekhasan corak geo-bio-sosial yang menjadikannya sangat peka terhadap perubahan iklim. Ekosistem terestrial, pesisir, pulau-pulau, dan kelautan Indonesia beserta keragaman hayatinya yang tinggi sangat rentan pada perubahan dalam variabel-variable klimatik, termasuk gejala cuaca dan iklim ekstrim, naiknya permukaan air laut, serta tingginya kandungan karbon atmosferik. Besaran dan sebaran penduduk beserta keragaman sejarah sosialnya – lebih dari setengahnya masih sangat bergantung pada layanan alam dari sumber daya hayati untuk nafkah dari pertanian, perhutanan, perikanan – dengan sistem kota yang sebagian besar berada pada sabuk pesisir dan dataran rendah, menjadikan Indonesia pada posisi genting di hadapan perubahan iklim.

Dalam satu generasi terakhir, pembangunan ekonomi dan perubahan sosial yang didorongnya juga telah memperumit duduk-perkara kemiskinan, khususnya dengan model pembiayaan pembangunan lewat hutang dan pengurasan sumber-daya alam. Sumbangan Indonesia yang tidak kecil dalam emisi karbon lewat perubahan tata-guna tanah dan kegiatan ekonomi khususnya di sektor kehutanan dan pertanian, berkaitan erat dengan merosotnya kualitas hidup di wilayah pedesaan di tengah modalitas perluasan ekonomi seperti sebelumnya. Apa dan bagaimana kaitannya antara emisi karbon dengan kualitas hidup—kalimat ini membingungkan apa maksudnya?

Secara umum seluruh wilayah Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur dengan laju yang lebih rendah dibandingkan wilayah sub-tropis. Wilayah selatan Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Dari penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi, diketahui bahwa kenaikan permukaan air laut di Indonesia sudah mencapai 8 mm per-tahun. Bila Indonesia tidak melakukan tindakan pengurangan emisi gas rumah kaca, dikhawatirkan bahwa kenaikan muka air laut akan mencapai 60 cm pada tahun 2070; apakah bila indonesia mengurangi emisi tapi negara maju tidak mengurangi emisi maka bencana ini tidak terjadi? Mungkin maksudnya tidak melakukan tindakan mitigasi? hal ini berdampak pada hilangnya lahan sekitar 124.584 hektar dan mengakibatkan kegagalan panen sebesar 150.000 ton serta pengurangan tangkapan udang, ikan, serta hasil pertanian lainnya sebesar 54.000 ton. (sumber??) Analsisis berdasarkan apa?

Dalam empat dekade lalu, bahaya-bencana terkait iklim seperti banjir, kekeringan, badai, longsor dan kebakaran hutan telah menyebabkan banyak kehilangan nyawa manusia dan penghidupan, hancurnya ekonomi dan infrastruktur sosial juga kerusakan lingkungan. Di banyak tempat dunia, frekuensi dan intensitas bahaya-bencana ini cenderung meningkat (Sivakumar, 2005). Banjir dan angin-badai mengakibatkan 70% dari total bencana dan sisanya 30% diakibatkan oleh kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dll.

Di Indonesia, dalam perioda 2003-2005 saja, terjadi 1,429 kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait hidro-meteorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan yang ekstrim yang lebih parah, yang pada giliranya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar (Trenberth dan Houghton, 1996). Laporan United Nations Office for the Coordiantion of Humanitarian Affairs (2006) mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu dari negara-negara yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim.

Penurunan dan peningkatan curah hujan telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun kejadian El-Nino, volume air di reservoir menurun cukup berarti (jauh dibawah normal), khususnya selama musim kering (Juni-September). Banyak pembangkit listrik memproduksi listrik jauh dibawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Data dari 8 waduk (4 waduk kecil dan 4 waduk besar di Pulau Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian El-Nino 1994, 1997, 2002, 2003, 2004 dan 2006 kebanyakan pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut memproduksi listrik dibawah kapasitas normal.

Peningkatan temperature air laut selama El-Nino 1997 telah menyebabkan masalah serius pada ekosistem terumbu karang. Wetlands International (Burke et al., 2002) melaporkan bahwa El-Nino pada tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang berada di 25 m dari permukaan air laut telah terjadi pemutihan.

ENSO (El-Niño-Southern Oscillation), satu fenomena alam di lautan Pasifik yang terjadi pada beberada dekade belakangan, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti Malaria, demam berdarah (dengue), diare, kolera dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (2004) telah menemukan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan dibawah normal. Di Indonesia peningkatan curah hujan diatas normal yang terjadi khususnya pada tahun-tahun La-Nina (tahun basah). Kasus demam berdarah juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun ini. Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, laju kejadian di Pulau Jawa dari tahun 1992 sampai 2005 meningkat secara konsisten.

seluruh uraian ini tidak menunjukkan apa kekhasan Indonesia dalam hal iklim? Ini lebih banyak bicara dampak!

1.2 Status Krisis Sosial Ekologis Indonesia Sekarang

1.2.1 Kerusakan ekologis

Kerusakan ekologis akumulatif dalam satu generasi terakhir telah memberikan sinyal lampu merah. Pengelolaan ekonomi tanpa penyelarasan implikasi sosial ekologisnya, yang ikut berperan penting dalam hilangnya jaminan keselamatan manusia dan keamanan sosial dalam proses perubahan ekonomi, telah mendorong perkembangan kegiatan-kegiatan produksi dan konsumsi sumber daya publik yang merusak lingkungan.

Paragraf ini tidak mempunyai makna. Maksudnya apa?

1.2.2 Sektor sumber daya air

Tidak dapat disangkal air sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan akses terhadap air minum dan sanitasi serta buruknya lingkungan akan membawa dampak yang membahayakan kesehatan. Demikian juga ketersediaan air untuk pangan juga faktor yang sangat penting bagi keberhasilan program ketahanan pangan.

Namun kondisi sumber daya air mengalami ancaman akibat meningkatnya degradasi Daerah Aliran Sungai/DAS (tahun 1984 jumlah DAS kritis 22 dan sekarang mencapai 62 DAS) yang menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas aliran sungai diantaranya diakibatkan oleh penggundulan hutan dan praktek pengolahan tanah dibagian hulu DAS yang menyebabkan erosi dan sedimentasi dibagian hilir; pencemaran dari limbah industri, domestik, pertanian dan sampah padat, serta pencemaran dari praktek pertambangan baik didarat maupun dibadan air/sungai. Berdasarkan hasil sampling di 30 sungai, diketahui bahwa untuk daerah hulu hanya 2,9% yang memenuhi baku mutu; sedangkan di daerah tengah dan hilir sebesar 22,6 % yang masih berada pada kondisi baik. Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya debit banjir dimusim hujan dan terjadinya kekeringan dimusim kemarau. Dan jumlah debit sungai yang menurun dimusim kemarau itupun sangat jelek kualitasnya akibat pencemaran. Kondisi ini akan memperparah dampak perubahan iklim yang berkecederungan meningkatkan intensitas curah hujan pada musim hujan dan penurunan curah hujan yang sangat tajam dan bertambah panjangnya periode musim kemarau.

Di sisi yang lain, ketersediaan air baku untuk berbagai keperluan untuk sektor permukiman/ domestik, pertanian, perikanan, peternakan, industri dan lingkungan sangat bergantung kepada iklim, sehingga sangat rentan terhadap variabilitas iklim. Sarana penampung air (waduk, embung, dsb) yang secara total berkapasitas tampung 5% dari aliran limpasan hanya mampu menjamin sekitar 10% (700,000 ha) dari luas total jaringan irigasi yang ada. Sedangkan penyediaan air bersih dengan sistem perpipaan baru mencakup sekitar 37% dari penduduk perkotaan dan sekitar 8% untuk penduduk perdesaan. Sisanya dipenuhi dengan penggunaan air tanah terutama air tanah dangkal sehingga rawan dari aspek kuantitas dan kualitas terutama di musim kemarau. Kebutuhan air untuk industri karena pasokan air dari permukaan tidak mencukupi maka banyak dipenuhi dari penyedotan air tanah dalam. Penyedotan air tanah yang berlebihan (melebihi kapasitas pasokan) menyebabkan penurunan muka tanah (land subsidence) yang menyebabkan meluasnya daerah rawan banjir dan intrusi air laut. Pemberian prioritas alokasi anggaran yang memadai untuk pembangunan sarana dan prasarana Sumber Daya Air dan kebijakan pengendalian penggunaan air tanah yang konsisten menjadi kunci solusi. Perubahan iklim yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir ini perlu diantisipasi dengan kebijakan adaptasi dan mitigasi.

Secara umum perubahan iklim akan membawa perubahan kepada parameter-parameter iklim yaitu temperatur, curah hujan, dan angin. Perubahan pada curah hujan akan berdampak pada sektor-sektor yang terkait dengan air yaitu, sumber daya air, pertanian, infrastruktur (termasuk permukiman, transportasi, PLTA/Pembangkit Listrik Tenaga Air dan penataan ruang), perikanan, rawa dan lahan gambut serta pantai.

Dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor terkait dengan sumber daya air antara lain:
· Bertambahnya jumlah kejadian ekstrim terkait iklim banjir dalam lima (5) tahun terakhir sehingga meningkatkan kerusakan prasarana dan sarana, termasuk juga ancaman terjadi badai dan gelombang yang tinggi sehingga mengancam keselamatan pelayaran. Ancaman badai ini juga dapat menyebabkan terjadinya pengungsian penduduk yang tinggal pada dataran rendah pantai dan pulau-pulau kecil.
· Menurunnya kontribusi hydro power pada penyediaan energi secara keseluruhan.
· Bertambahnya jumlah panjang pantai yang terkena abrasi
· Ancaman intrusi air laut dapat mengakibatkan
– penurunan kuantitas dan kualitas pasokan air baku selama musim kemarau yang akan berdampak pada bertambahnya biaya untuk pengolahan air baku untuk air minum
– ancaman intrusi air laut pada sumber air minum (tempat pengambilan air di sungai) karena kenaikan muka air laut.
– mengakibatkan kerusakan pada struktur bangunan
– menurunnya produksi perikanan akibat kekurangan pasokan air tawar terutama di musim kemarau
– menyebabkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan lingkungan pada daerah yang terdampak.
· Terganggunya transportasi air didarat pada pedalaman Kalimantan akibat menyusutnya muka air sungai di musim kemarau sehingga sungai tidak dapat dilalui oleh kapal besar.
· Meningkatnya kerentanan kebakaran lahan gambut akibat peningkatan temperatur dan berkurangnya curah hujan dimusim kemarau.
· Ancaman atas kerusakan habitat mangrove dan coral reef
· Meningkatkan ancaman atas biodiversity akibat perubahan tata guna dan tutupan lahan dan tekanan meningkatnya jumlah penduduk

1.2.3 Sektor perumahan dan pemukiman

Dalam hal sampah, rata-rata penduduk Indonesia menghasilkan sampah sebanyak lebih kurang 2,75 liter per-orang per-hari. Sebagai contoh, DKI dengan jumlah penduduk 12 juta jiwa bisa menghasilkan hingga 33 ribu m3 perhari. Akibat sarana prasarana yang tersedia sangat rendah maka banyak sampah yang di buang langsung ke lingkungan, antara lain ke sungai dan tanah-tanah kosong serta ke laut. Selain itu terjadi konflik sosial yang berkaitan dengan pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah; bahkan hingga merenggut korban jiwa akibat pengelolaan TPA yang tidak tepat (meledaknya TPA Leuwi Gajah).

Pengelolaan sampah perkotaan di TPA masih menggunakan metoda open dumping sehingga gas metana yang dihasilkan dari proses dekomposisi anaerobik dapat terlepas ke atmosfer dan menyebabkan pemanasan global (potensi pemanasan global CH4 adalah 21 kali lebih besar dibandingkan gas CO2). Berdasarkan kajian pengukuran emisi gas CH4 yang dilakukan di TPA Jelekong-Bandung (Driejana, 2007), setiap kilogram sampah bisa menghasilkan 0.0003335 kg CH4 ke atmosfer. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 205,1 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,33% (BPS, 2000). Bila data tersebut dipergunakan untuk menghitung jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2006, serta diambil asumsi bahwa densitas sampah adalah sebesar 196,4 kg/m3 (Saptini, 2007) dan setiap penduduk menghasilkan 2.75 liter sampah, maka jumlah gas metana yang terlepas ke atmosfer pada tahun 2006 diperkirakan bisa mencapai 40 ton CH4 atau setara dengan 841 ton CO2.

Pencemaran udara yang meningkat pesat seiring dengan peningkatan aktifitas penduduk dari sektor transportasi, industri, jasa, dan rumah tangga, telah mengakibatkan terjadinya peningkatan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) serta penyakit lainnya seperti kanker, menurunnya tingkat kecerdasan anak, serta terlahirnya anak-anak autis dengan kadar logam berat yang melampaui rata-rata yang diperbolehkan. Selain itu, pembakaran bahan bakar di kendaraan bermotor bisa menghasilkan hidrokarbon aromatik polycyclic yang merupakan senyawa karsinogenik (dapat mengakibatkan penyakit kanker).
Juga telah terjadi hujan asam di Indonesia dengan pH air hujan berkisar antara 4,5 sampai 5. Standar yang umum dipergunakan untuk menentukan telah terjadinya hujan asam adalah bilamana pH air hujan di bawah 5,6.

1.2.4 Sektor energi

Di sektor energi, konsumsi energi di Indonesia tumbuh sangat pesat sejak tahun 1970. Dalam periode 1970-2003 pertumbuhan konsumsi energi final Indonesia mencapai 7%, sedangkan konsumsi energi dunia hanya mencapai 2,6%.Maksudnya pertumbuhan konsumsi energi? Apakah ada bandingannya dengan negara berkembang setara Indonesia?

Tentu saja pertumbuhan energi tinggi di Indonesia, karena kita masih membangun. Pada saat itu, Indonesia masih belum optimal dalam melakukan konservasi energi serta masih terbatas dalam pengembangan energi terbarukan. Kebijakan energi Indonesia sampai dengan tahun 2003 masih menempatkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama sebesar 95%, sedangkan energi terbarukan hanya 5%.
(Apakah ada data tentang jumlah populasi yang tidak dapat akses energi – listrik maupun masak? Mengapa mereka tidak dapat akses??)

Dari data National Communication diketahui bahwa pada tahun 1994, konsumsi energi di Indonesia, yang terdiri dari pemakaian di rumah tangga dan bangunan komersial, industri, transportasi, dan pembangkit listrik, menimbulkan emisi CO2 sekitar 170 juta Ton. Emisi dari konsumsi energi tersebut merupakan 25% dari emisi keseluruhan Indonesia pada tahun 1994 yang sebesar 748,6 juta Ton. Namun demikian, jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia tersebut masih sangat kecil bila dibandingkan dengan negara maju. Data dari International Energy Administration menunjukkan bahwa untuk tahun 1994, emisi CO2 dunia dari penggunaan energi (pembakaran bahan bakar fosil) adalah sekitar 21 miliar Ton. Dengan demikian, emisi CO2 dari konsumsi energi di Indonesia pada tahun 1994 hanya menyumbang sekitar 0,81% terhadap emisi dunia dari konsumsi energi. (ini data lama. Yang baru?)

1.2.5 Sektor kehutanan

Sedangkan untuk kondisi hutan, penurunan penutupan lahan paling tinggi terjadi pada periode waktu 1997 – 2000 seluas 3,5 juta ha (lahan hutan dan non hutan) per-tahun dengan laju penurunan tertinggi terjadi di pulau Sumatera yakni 1,15 juta ha per-tahun, Kalimantan 1,12 juta ha per-tahun, Sulawesi 692 ribu ha per-tahun, Maluku 294 ribu ha per-tahun, dan Papua 156 ribu ha per-tahun. Hal tersebut bisa dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1 Laju penurunan penutupan hutan 1997 – 2000 (ribu ha per-tahun)

Berdasarkan data Program Menuju Indonesia Hijau (MIH), tutupan lahan di Pulau Jawa diharapkan menjadi 19%, Sumatera 54%, Kalimantan 43%, Sulawesi 43%, dan Papua 72% (KLH 2006).

Sekitar 60% dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change, Forestry). Terdapat publikasi ilmiah internasional yang menyatakan bahwa kebakaran hutan dan ladang gambut di Indonesia pada tahun 1997 menyumbang 13 – 40% emisi karbon tahunan dunia [Page, dkk., 2002]. Walaupun hal tersebut masih menjadi perdebatan para pakar dalam teknik perhitungannya, namun Indonesia perlu melakukan upaya penurunan kebakaran hutan.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2007), luas kawasan hutan Indonesia adalah 120, 55 juta ha (sekitar 60 % dari daratan Indonesia). Selama kurun waktu 35 – 40 tahun sampai dengan 2005, kawasan hutan telah berkurang seluas 23,45 juta ha, dari 144 juta ha pada akhir tahun 1960 atau awal 1970-an menjadi 120,55 juta ha saat ini. Dari luasan tersebut, 53,9 juta ha diantaranya terdegradasi dengan berbagai tingkatan yang tersebar pada hutan konservasi (11,4 juta ha), hutan lindung (17,9 juta ha), dan hutan produksi (24,6 juta ha). Kawasan hutan yang telah dikonversi untuk penggunaan lain dan areal hutan yang terdegradasi tersebut menghasilkan emisi sebesar 2,1 Gt CO2 per tahun pada tahun 2005. Dengan demikian carbon stocks yang ada saat ini dari hutan alam (konservasi, hutan lindung, hutan produksi) baik yang primer maupun logged over area atau yang terdegradasi sebesar 37,44 Gt karbon pada tahun 2005.

Penutupan vegetasi hutan terus menurun dari waktu ke waktu akibat konversi lahan hutan untuk penggunaan lainnya (pertanian, perkebunan, pembangunan pemukiman, dan prasarana wilayah), perambahan, over cutting, illegal logging, dan kebakaran hutan. Konversi lahan tersebut menyebabkan terjadinya deforestasi, sedangkan perambahan dan lain-lain menyebabkan degradasi (penurunan kualitas) hutan. Penurunan penutupan vegetasi hutan memberikan kontribusi terhadap rendahnya penyerapan dan penyimpanan Gas Rumah Kaca (GRK) yang banyak dihasilkan oleh industri. Data lengkap tentang penurunan luas hutan dari 144 juta ha sampai luas saat ini tidak tersedia, namun trend selama 6 tahun mulai 1999-2005 dapat dilihat pada Gambar 2

Tahun
Perubahan Luas Hutan Tetap

Gambar 2. Perubahan luas total hutan tetap Indonesia tahun 1999-2005

Pengurangan luas penutupan vegetasi hutan di atas terjadi di 7 pulau besar di yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (lihat Gambar 3 berikut).

Perubahan Penutupan Vegetasi Hutan

Gambar 3. Laju perubahan penutupan vegetasi hutan pada tiga periode tahun 1985-1997, 1997-2000, dan 2000-2005 di lima pulau besar di Indonesia

Permasalahan hutan dan perubahan iklim

Hutan dalam konteks perubahan iklim dapat berperan sebagai sink (penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca yang terjadi di sektor Kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), dan perambahan.

Apakah degradasi hutan meningkatkan emisi atau peningkatan emisi adalah karena pembakaran hutan dan lahan terutama gambut? Perlu dibedakan antara hutan sebagai perosot dan bahwa deforestasi yang tidak melalui pembakaran mungkin tidak menyebabkan emisi, tapi membuat perosot karbon jadi menurun. Lagipula persoalan LU LUC F adalah persoalan kebijakan, bukan teknis-teknis yang disebutkan itu.

1.3. Komitmen Indonesia Menjaga Iklim Global melalui Penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim dan Ratifikasi Protokol Kyoto

Indonesia merupakan salah-satu negara berkembang yang memberikan perhatian khusus pada pengelolaan lingkungan hidup sejak awal 1980-an. Perluasan dan pendalaman kerusakan sosial ekologis sampai saat ini merupakan tantangan nyata bagi Indonesia untuk mengambil prakarsa-prakarsa yang lebih berkesungguhan dalam perbaikan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam urusan perubahan iklim, Indonesia sangat berkepentingan untuk berperan aktif dalam upaya global untuk menghambat laju pemburukan keadaan biosfer karena perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim lewat UU No. 6 tahun 1994. Sepuluh tahun kemudian Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto lewat UU No. 17 tahun 2004. Komitmen tersebut sekarang membutuhkan usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup segenap sektor penyumbang emisi gas rumah-kaca serta sekuestrasi karbon. Komitmen tersebut harus pula secara serentak diterapkan dengan usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup rakyat dan kualitas lingkungan hidup, dan tercermin dalam pengelolaan sektor-sektor produksi dan konsumsi prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi.

Tuntutan pembaruan kerangka kebijakan nasional bagi pelaksanaan konvensi-kerangka tentang perubahan iklim dan Protokol Kyoto, dan sebagai momentum bagi pelaksanaan pembangunan nasional berwawasan sosial ekologis

Beberapa paragraf ke bawah ini pesannya tidak jelas.Maksudnya indonesia mau punya komitmen tapi tidak bisa karena urusan institusional? Jika ya disebutkan saja secara lugas).

Perumusan strategi nasional beserta rencana aksi nasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (RAN) bertujuan untuk menghasilkan panduan bagi usaha besar itu. RAN adalah sebuah instrumen dinamis yang secara berkala diperiksa daya guna dan kinerjanya serta diperbarui untuk memperbaiki efektivitasnya. Panduan ini juga harus cukup jelas menunjukkan pihak dan lembaga mana saja yang harus terlibat penuh dalam penerapannya serta bagaimana cara melaksanakan tindakan tersebut dalam pengelolaan sektor-sektor produksi dan konsumsi serta perubahan sosial ekologis. Rencana aksi dan cara penerapan serta pemantauan serta pengendalian kinerjanya harus mampu mengatasi rendahnya derajat koordinasi antar pemangku kepentingan (stake holders) beserta hambatan-hambatan kelembagaan dan sosialnya pada saat ini.

Sangat mendesak untuk melakukan penyelarasan wilayah-wilayah ketentuan publik serta instrumen hukum dan perundang-undangan yang terkait, khususnya dalam sektor-sektor mitigasi dan adaptasi prioritas termasuk energi, perhutanan, pertanian, perikanan/kelautan, pertambangan, dan infrastruktur.

Besarnya skala ruang dan capaian dari upaya penerapan rencana aksi nasional tersebut juga membutuhkan cara kerja, pemantauan, dan pengukuran hasil kinerja yang baru dan lebih pendek rantai-kendalinya untuk mampu mengatasi fragmentasi fungsi tugas pokok sektoral yang selama ini berjalan. Oleh karenanya, instrumentasi ketentuan publik untuk mengawal strategi pembangunan berkelanjutan beserta rencana aksi nasional tersebut, termasuk instrumen fiskal dan ekonomi pendukungnya, harus disertai dengan cara penerapan yang terpadu pada wilayah-wilayah kelola sosial ekologis yang menjadi sasaran aksi nasional, agar bisa dipantau dan diukur secara terus menerus perubahan dan kinerja pelaku-pelaku perubahannya.

Rangkaian tindakan yang secara spasial terpadu tersebut harus secara tegas mendorong perubahan jenis, cara dan modalitas investasi serta aliran barang dan dana untuk memperbaiki kerusakan sosial ekologis di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.

Bagian dari sasaran utama penerapan rencana aksi nasional untuk perubahan iklim adalah penurunan intensitas konsumsi energi buangan karbon, melalui upaya mitigasi dan adaptasi teknologi serta optimasi manfaat sosial ekologis dari investasi di seluruh sistem-sistem produksi prioritas. Upaya ini membutuhkan jaminan ketersediaan sumber pembiayaan untuk penerapan rencana aksi nasional, khususnya untuk riset serta pengembangan kapasitas penerapan teknologi-teknologi baru secara meluas.

BAB II
TUJUAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM RANGKA ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan kondisi sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju. Oleh karena itu dikhawatirkan bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Selain merupakan golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, masyarakat miskin juga golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional. Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim mustilah mengikutsertakan program pengentasan kemiskinan. Strategi tiga jalur (triple track strategy), yakni pro-poor, pro-job, dan pro-growth harus menjadi bagian integral dalam strategi nasional menghadapi perubahan iklim.

2.1 Pola Pembangunan Sampai dengan Sekarang

Dengan luas wilayah, penduduk dan aset sumber daya alam Indonesia yang terbesar di Asia Tenggara, transformasi ekonomi dan sosial paska kemerdekaan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat Indonesia, selama ini berlangsung dalam konteks dinamika ekonomi politik dalam dan luar negeri yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan nasional. Fokus pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi, kestabilan politik, dan pemerataan, berjalan dengan basis eksploitasi sumberdaya alam tanpa pertimbangan keberlanjutan. Oleh karena itu, selain strategi tiga jalur di atas, perlu juga dikembangkan jalur yang ke-empat, yakni pro-environment. Pembaruan infrastruktur produksi serta pembentukan kapital lewat integrasi ekonomi nasional dan perluasan sektor-sektor produksi khususnya dalam satu generasi terakhir juga telah menciptakan faktor-faktor penekan sosial ekologis pada sistem-sistem pendukung kehidupan di seluruh kepulauan. Syarat keamanan sosial yang sangat penting bagi perbaikan dan pelestarian lingkungan belum menjadi prinsip pembangunan.

2.2 Tujuan Pembangunan Nasional dengan Agenda Antisipasi Perubahan Iklim

2.2.1. Agenda Mitigasi

Sebagai turunan komitmen Indonesia dalam usaha global menghambat laju kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan sistem-sistem sosial ekonomi global akibat perubahan iklim, pengelolaan kinerja ekonomi dan kualitas hidup rakyat sekarang harus secara tegas mengacu juga pada sasaran-sasaran reduksi emisi gas rumah kaca dan intensitas energi dari pertumbuhan ekonomi. Sasaran-sasaran mitigasi tersebut akan sangat sulit sekali dicapai selama unsur-unsur penekan yang menjadi kendala pencapaian keselamatan manusia dan keamanan sosial, produktivitas sosial untuk memenuhi syarat kualitas hidup, serta pemeliharaan keberlanjutan layanan alam tidak serta-merta juga direduksi. Perluasan deforestasi dan degradasi lahan khususnya dalam dasawarsa terakhir adalah salah satu pelajaran mahal dari kegagalan pengelolaan ekonomi yang mengacu pada pencapaian ketiga prinsip dasar tersebut di atas.

Dengan demikian, sasaran-sasaran mitigasi sektor-sektor ekonomi prioritas, yaitu sektor energi, kehutanan, pertanian-perikanan, infrastruktur, harus dirumuskan strategi pencapaiannya serta pilihan skenarionya, bukan saja lewat optimasi internal masing-masing sektor, melainkan juga dengan mempertimbangkan kerangka pertimbangan yang bisa disebut sebagai “wilayah mitigasi sosial ekologis”, yaitu perbaikan dalam ketiga prinsip dasar (keselamatan manusia/alam, produktivitas, dan kelangsungan layanan alam). Wilayah mitigasi sosial ekologis ini, meskipun secara formal bersifat sekunder dalam konteks komitmen Indonesia pada Konvensi Kerangka Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto, merupakan bagian strategis dari tujuan pembangunan nasional karena perannya untuk menjamin pencapaian sasaran mitigasi perubahan iklim yang berkaitan dengan variabel-variabel iklim.

2.2.2. Adaptasi

Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pola pembangunan yang tahan (resilience) terhadap variabilitas iklim saat ini (termasuk anomali iklim) dan mendatang serta menerapkan sistem pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan sehingga dapat menghambat laju kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan sistem sosial-ekonomi bumi.

Secara ringkas, tujuan-tujuan politik/kebijakan yang hendak dicapai oleh strategi pembangunan nasional berkelanjutan, serta RAN hendak merespons perubahan iklim lewat pengendalian emisi gas rumah kaca, memperkuat kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, mempromosikan pengembangan pengetahuan ilmiah dan teknologi yang berkaitan dengan perubahan iklim, meningkatkan kesadaran publik, dan memperkuat kapasitas kerja kelembagaan serta mekanisme pengelolaan informasi dan data yang menyangkut perubahan iklim.

Jadi sebenarnya tujuan strategisnya apa? Semua paragraf ini normatif dan tidak jelas.

2.3 Prinsip Pengelolaan Pembangunan Nasional

Untuk mencapai tujuan dan manfaat ganda tersebut di atas, RAN terus-menerus dipantau dan diperbaiki ketaatannya pada asas kebijakan/ketentuan publik pembangunan nasional sebagai berikut:

Pertama, penyelarasan semua instrumen kebijakan dan hukum agar perluasan kegiatan ekonomi dan pemeliharaan daya saing dari sistem-sistem produksi utama taat pada ketiga syarat kelayakan sosial ekologis pembangunan nasional ((keselamatan manusia/alam, produktivitas, dan kelangsungan layanan alam).

Kedua, instrumen utama dari kepatuhan tersebut adalah integrasi dan penyelarasan penggunaan ruang beserta penggunaan sumber-sumber-daya publik, untuk mengatasi ”status quo” ego sektoral yang menjadi penghambat cita-cita pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Ketiga, pencapaian sasaran-sasaran mitigasi perubahan iklim beserta sasaran-sasaran sosial ekologis yang menyertainya, harus dilakukan lewat adaptasi pola konsumsi dan produksi dari segenap pelaku perubahan.

2.4 Kerangka Waktu Strategi dan Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional

AKSI SEGERA : 2007 – 2009
Dalam kurun waktu pendek tersebut, harus dapat dicapai syarat kelengkapan instrumentasi serta dukungan kelembagaan dari rencana aksi nasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (RAN), beserta cakupan penyelarasan antar sektor dan wilayah-wilayah kelola prioritasnya. Di samping itu, harus telah dicapai syarat kelengkapan infrastruktur informatik minimal yang diperlukan berbagai pelaku kunci dalam proses kolaborasi.

AKSI JANGKA PENDEK : 2009 – 2012
Sampai dengan batas waktu berakhirnya masa komitmen pertama dari penerapan Protokol Kyoto di tahun 2012, penerapan RAN di setiap sektor mitigasi dan adaptasi prioritas, khususnya sektor-sektor energi, kehutanan, pertanian, pertambangan, infrastruktur, dan kesehatan, harus mencapai sasaran reduksi mandiri (sukarela atas prakarsa Indonesia sendiri), untuk mengantisipasi berlakunya rejim pengelolaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang baru, setelah berakhirnya masa komitmen pertama. Pembaruan modalitas tata-kelola urusan publik harus dapat diukur terutama dalam kinerja pengembangan investasi dan perluasan ekonomi yang bisa memperbaiki kondisi sosial ekologis di seluruh negeri, serta bisa mempertahankan produktivitas dari sistem-sistem produksi vital seperti pangan dan barang kebutuhan pokok rakyat lainnya. Tingkat capaian pemulihan kerusakan tersebut akan sangat menentukan daya capai usaha mitigasi Indonesia untuk perubahan iklim, karena kondisi sosial-ekologis Indonesia tersebut di atas.
Bagaimana RAN akan diterapkan? Melalui mekanisme koordinasi seperti apa? Institusi seperti apa? Anggaran seperti apa?

AKSI JANGKA MENENGAH : 2012 – 2025
Kinerja penerapan RAN jangka pendek yang berakhir pada tahun 2012 beserta seluruh hasil evaluasinya akan menjadi salah-satu pertimbangan utama untuk pemrograman dan penerapan rencana aksi jangka-menengah. Dalam masa penerapan jangka menengah tersebut, pencapaian sasaran-sasaran mitigasi dari sektor-sektor prioritas harus disertai dengan pencapaian sasaran-sasaran adaptasi segenap sektor kehidupan rakyat terhadap potensi dampak negatif perubahan iklim pada sistem-sistem pendukung kehidupan dan kelangsungan layanan alam di seluruh kepulauan Indonesia. Secara spesifik harus dapat dicapai sasaran reduksi resiko bencana yang dapat diukur dengan lugas, tercermin antara lain dalam pengetahuan dan kesadaran warga-negara tentang modalitas kehidupan beresiko dalam perubahan iklim, serta ketersediaan infrastruktur pendukung kehidupan dan sistem-sistem produksi vital beserta instrumen prosedural untuk pengelolaan dan pemanfaatannya.

AKSI JANGKA PANJANG : 2025-2050

Proses belajar jangka panjang untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang mencakup kurun waktu satu generasi sampai dengan 2050, bukan saja harus bisa menjamin ketahanan dan daya hidup bangsa Indonesia, tetapi juga harus bisa memperbaiki ketiga syarat sosial ekologis tersebut di atas secara berkelanjutan.

2.5 Strategi Spesifik untuk Wilayah Kebijakan Kunci

Pedoman prinsip pembangunan nasional yang terutama hendak dicapai dengan penerapan RAN, harus bisa dijalankan dan tercermin dalam wilayah-wilayah kebijakan kunci yang selama ini justru menjadi wilayah bermasalah dalam penyelarasan tujuan-tujuan pengelolaan kinerja ekonomi dengan tujuan-tujuan perbaikan sosial-ekologis nasional. Wilayah-wilayah tersebut adalah sebagai berikut:
A. Pembaruan protokol tata-laksana penyelenggaraan pengelolaan urusan publik serta penyelarasan peran fungsi dan tugas kelembagaan lembaga-lembaga publik secara umum.
B. Pembaruan kebijakan fiskal, moneter, dan anggaran untuk menjadikan ketiga wilayah kebijakan tersebut sebagai pendukung utama dari proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim beserta sasaran sosial-ekologis yang menyertainya. Secara khusus, ketiga kebijakan tersebut harus semaksimal mungkin mengekspresikan biaya-biaya sosial-ekologis dari segenap sektor produksi dan konsumsi.
C. Pembaruan kebijakan investasi dan penciptaan pelaku investasi-investasi baru yang berpusat pada perbaikan sosial ekologis dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim, untuk mendorong perluasan ekonomi yang fleksibel dan responsif terhadap perubahan iklim.
D. Vitalisasi kebijakan pengembangan dan penapisan teknologi untuk menjamin pencapaian sasaran-sasaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta sasaran-sasaran perbaikan sosial-ekologis di seluruh wilayah Indonesia.
E. Penerapan kewilayahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber-daya publik, termasuk sumber daya alam dan sumber daya buatan, dengan kepekaan pada pertimbangan migrasi serta perubahan kependudukan karena proses perubahan, maupun sebagai akibat dari perubahan iklim.

2.6 Sektor-Sektor Produksi dan Pelayanan Kepentingan Umum

Sektor-sektor ekonomi prioritas dalam penerapan strategi pembangunan berkelanjutan lewat RAN adalah sebagai berikut:
a. Pertanian
b. Kehutanan
c. Sumber Daya Air
d. Kelautan dan Perikanan
e. Energi
f. Pertambangan
g. Pengolahan & Manufaktur
h. Infrastruktur

Pada sisi penaksiran dampak perubahan iklim serta adaptasi terhadapnya, RAN harus bisa mendorong integrasi serta penajaman tujuan-tujuan, sasaran, dan instrumentasi kebijakan dalam wilayah-kebijakan sebagai berikut:
a. Kesehatan
b. Pendidikan
c. Ketenagakerjaan
d. Kependudukan
e. Pengelolaan wilayah dan mukiman
f. Tata ruang
g. Pengembangan kapasitas pengelolaan dampak bencana

Dalam hal ini, RAN sebagai sebuah instrumen kebijakan dinamis yang secara berkala dievaluasi, diperbarui dan diperbaiki, secara bertahap akan mensyaratkan integrasi kebijakan dari sektor-sektor mitigasi dan adaptasi prioritas dalam implementasinya, sampai dengan periode jangka menengah (2025).

2.7 Kondisi

Lainnya:
Berita & artikel