Meneropong Implementasi
Moratorium Akomodasi Pariwisata Bali Selatan
Hasil penelitian Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata bersama Universitas Udayana terhadap ketersediaan kamar hotel hingga villa dan pondok wisata di Bali menunjukkan bahwa Bali telah mengalami kelebihan kamar mencapai 9.800 kamar. Hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa jumlah kamar hotel yang ada di Bali yang mencapai 55.000 kamar cukup untuk memenuhi kebutuhan jumlah kamar hotel hingga 2015 mendatang. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata waktu itu menegaskan bahwa diperlukan moratorium pembangunan hotel untuk menjaga keserasian dengan daya dukung lingkungan.
Atas dasar studi tersebut, Gubernur menerbitkan surat keputusan moratorium tertuang dalam Surat Gubernur Bali No 570/1665/BPM tentang Penghentian Sementara Pendaftaran Penanaman Modal untuk Bidang Usaha Jasa Akomodasi Pariwisata. Moratorium berlaku sejak 5 Januari 2011 hingga adanya kajian detail terhadap kelayakan kebutuhan bidang usaha jasa akomodasi.
Namun demikian kebijakan ini tidak berjalan seperti yang dicita-citakan, alih-alih untuk membuat kajian detail terhadap kelayakan kebutuhan bidang usaha jasa akomodasi, Gubernur Bali justru jilat ludah sendiri. Gubernur Bali justru memberikan rekomendasi serta izin untuk membangunan akomodasi pariwisata di daerah yang ditetapkan sebagai kawasan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata. Semangat moratorium pembangunan akomodasi pariwisata untuk membuat kajian detail terhadap kelayakan kebutuhan bidang usaha jasa akomodasi pariwisata justru mengumbar izin untuk membangun akomodasi pariwisata.
Izin yang diberikan oleh Gubernur Bali untuk membangun akomodasi pariwisata selain bertentangan dengan moratorium juga minim keterlibatan masyarakat. Setidak-tidaknya pemerintah provinsi bali telah 2 kali mengeluarkan izin secara sembunyi-sembunyi dan bahkan tidak diakuinya. Selain tidak mengakui, parahnya gubernur dan jajarannya ini juga mengklaim tidak tahu sebelum ijin bocor ke publik.
Disaat pemerintah provinsi sedang mengumbar izin untuk membangun akomodasi pariwisata pariwisata baru, di lapangan juga terjadi banyak pelanggaran yang sengaja dibiarkan. Pembangunan Mulia Resort adalah salah satu diantaranya. Hotel ini mendapatkan izin membangun dengan jarak sempadan pantai 100 meter namun melakukan pembangunan tak kurang dari 50 meter. Tidak hanya itu, di dalam prakteknya ia juga memangkas tebing dan juga mengurug pantai dengan limestone serta membangun di area kawasan suci pura geger. Pelanggaran tidak hanya terjadi di sektor akomodasi pariwisata, di sektor infrasturktur pemerintah juga membiarkan terjadinya pengurugan laut dalam pembangunan jalan diatas perairan (jalan tol bali mandara) yang secara terang benderang telah melanggar AMDAL namun pemerintah provinsi bali yang memiliki kewenganan tersebut justru membiarkan dan lebih memilih melakukan revisi AMDALnya tanpa memberikan sanksi kepada pelanggar AMDAL.
Ditengah murahnya izin dan lemahnya kontrol Pemda di bali dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, kita juga dihadapkan pada persoalan lingkungan hidup yang semakin serius. Defisit air di Bali malah telah terlihat sejak tahun 1995, berdasarkan laporannya, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI mengingatkan bahwa defisit air di Bali telah terlihat sejak 1995 sebanyak 1,5 miliar meter kubik/ tahun. Defisit tersebut terus meningkat sampai 7,5 miliar meter kubik/ tahun pada 2000. Kemudian, diperkirakan pada 2015 Bali akan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar meter kubik/ tahun. Sementara BLH memperkirakan Bali akan mulai krisis air bersih pada tahun 2025. Selain krisis air, bali dihadapkan pada krisis tanah, Bali menghadapi alih fungsi lahan sebesar 1000 ha pertahun yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah timbunan sampah dibali yang mencapai 12.000 m3/hari. Di sektor lain, bali juga dihadapkan pada mengikatnya potensi bencana di bali baik bencana ekologis.
Tidak hanya itu, dalam kurun 3,5 tahun moratorium berjalan selain melahirkan pelanggaran-pelanggaran oleh Gubernur Bali, publik yang ikut berparitispasi secara aktif dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup serta mengkontrol kebijakan yang silang sengkarut ini justru diintimidasi dan dikriminalisasi.
Sangat ironis apabila pariwisata bali yang menjual keindahan dan kebudayaan yang bersumber dari air dan tanahnya ini justru mengalami krisis air dan krisis tanah yang di ikuti oleh meningkatnya timbunan sampah yang dari hari ke hari tidak bisa diatasi oleh para penikmat uang rakyat. Bahkan rakyat yang ikut mengkontro di intimidasi dan juga di kriminalisasi.
Di tengah kondisi itu pula, lingkungan hidup di bali juga menghadapi ancaman lingkungan yang lebih serius dari proyek-proyek nasional yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi dan dibungkus dalam masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi indonesia (MP3EI). MP3EI merupakan kebijakan fasilitasi proyek yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi dengan menerobos berbagai peraturan. Parahnya MP3EI juga diberikan karpet merah deregulasi kebijakan sehingga manakala ada rencana pembangunan yang difasilitasi oleh MP3EI terhambat peraturan maka bukan proyeknya yang dihentikan akan tetapi peraturan yang menghambat proyek dirubah. MP3EI hadir dengan mengabaikan fakta krisis lingkungan hidup khususnya di Bali. Dalam konteks ini dapat dilihat secara gamblang rencana proyek yang sedang menuai penolakan keras dari masyarakat adalah rencana reklamasi di teluk benoa. Guna memuluskan ambisinya untuk mereklamasi teluk benoa pemerintah pusat dan pemprov bali berupaya untuk merubah perpres sarbagita dengan berbagai upaya termasuk melakukan pertemuan-pertemuan secara sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan legitimasi publik dalam memuluskan perubahan Perpres Sarbagita.
Melalui momentum ini WALHI Bali menyatakan protes keras kepada pihak-pihak baik pemerintah provinsi bali, Kementrian kelautan dan perikanan melalui dirjen KP3K, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan juga Komisi IV DPR RI yang telah melakukan pertemuan dengan tanpa mengundang dan melibatkan kelompok yang kontra terhadap rencana reklamasi teluk benoa. Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang secara aktif mengkritisi kebijakan reklamasi bersama ForBALI dan kelompok masyarakat sipil lainnya kami merasa Pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah pusat bertindak curang dalam mewujudkan ambisnya mereklamasi teluk benoa.
Berdasarkan hal tersebut diatas, 3,5 tahun moratorium telah menghasilkan beberapa fakta menyedihkan, yaitu ;
- Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan tercermin dari tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran AMDAL dalam pembangunan Jalan Tol Di Atas Perairan (JDP).
- Murahnya izin pembangunan akomodasi pariwisata tanpa memperhatikan krisis yang sedang dihadapi oleh bali. Pemberian rekomendasi dan izin bagi pembangunan akomodasi pariwisata secara sembunyi-sembunyi, tidak sesuai prosedur seperti Rekomndasi Bali International Park, Pemberian izin pengusahaan pariwisata alam dan pemberian izin untuk melakukan reklamasi di kawasan perairan teluk benoa. adalah bentuk m
- Tidak konsistennya pemerintah dalam penegakan hukum lingkungan termasuk melaksanakan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata.
- Semakin dibatasinya partisipasi publik dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang ditandai dengan meningkatnya intimidasi dan kriminalisai terhadap masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta semakin massivenya pemerintah melakukan pertemuan-pertemuan secara terselubung demi untuk mewujudkan proyek.
Atas hal tersebut, dalam momentum hari lingkungan hidup, Peringatan 3,5 tahun kebijakan moratorium Pembangunan AKomodasi Pariwisata dan 18 tahun WALHI Bali, kami menuntut,
- Pemerintah Provinsi Bali maupun pemerintah pusat untuk segera menghentikan upaya-upaya untuk melegitimasi rencana reklamasi teluk benoa dengan cara apapun.
- Menuntut Presiden SBY untuk menegakkan Perpres Sarbagita dan menghentikan seluruh upaya untuk merevisi PEPRES No 45 tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan SARBAGITA.
- Menuntut Komisi 4 DPR RI untuk tidak merekomendasikan perubahan Perpres Sarbagita dan segera merkomendasikan presiden untuk menegakkan Perpres Sarbagita.
- Menuntut Gubernur Bali untuk segera mencabut Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa (sering disebut sebagai SK Reklamasi Jilid 2).
- Mendesak Gubernur Bali untuk melakukan moratorium pembangunan industri pariwisata untuk:
- Mengambil jarak dari masalah agar didapat solusi jangka panjang dan bersifat komprehensif
- Memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara penuh dalam pengelolaan lingkungan agar tercipta pariwisata yang bertanggungjawab dan berkelanjutan
- Segera bentuk “Masterplan pembangunan Pariwisata Bali yang Berkelanjutan” secara komprehensif (mulai dari hulu ke hilir) guna mereduksi praktik pembangunan yang keliru dan koruptif, dengan melibatkan rakyat Bali yang sesungguhnya menjadi konstituen utama dalam seluruh proses kehidupan berbangsa dan berwarga negara.