Oleh : Agung Wardana
Tak dapat dipungkiri jika perubahan iklim yang menaikkan temperature 1 dejata celcius saja telah menimbulkan dampak cukup serius bagi Bali. Selama ini perhitungan akan perubahan iklim ini tidak pernah masuk dalam agenda pembangunan di Bali sehingga memperparah degradasi lingkungan hidup. Proyek reklamasi pantai misalnya, yang akan berdampak timbulnya abrasi pantai menjadi semakin parah akibat naiknya suhu air laut yang selama ini tidak pernah diperdebatkan di komisi AMDAL proyek tersebut. Maka jadilah garis pantai Bali yang sejauh 430 km mengalami kerusakan 3,7 km dan 50 sampai 100 meter inland setiap tahun. Penanggulangannya pun hanya berkesan proyek persial belaka. Tidak heran kemudian banyak spekulasi yang menyatakan bahwa Sanur dan Kuta akan tenggelam di masa mendatang.
Bali yang telah berkontribusi besar dalam mengurangi konsumsi energi dan sumber daya alam lewat Nyepi dan banyaknya libur upacara adat, tetap saja akan menjadi korban bagi masalah lingkungan global ini. Saat ini saja, nelayan sudah harus mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga, petani sudah mulai mempertanyakan siklus alam yang selama ini akrab dengan mereka, meningkatnya penyakit-penyakit tropis secara signifikan adalah bukti nyata bahwa perubahan iklim sedang mengancam keberlanjutan hidup kita.
Berbicara tentang perubahan iklim, kita tidak bisa hanya membicarakan hal-hal yang ilmiah belaka karena hal ini terjadi akibat kerakusan sistem ekonomi global yang dominan saat ini yang memaksa kita untuk mengkonsumsi lebih dan lebih. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir terjadi secara signifikan pasca terjadinya revolusi industri. Negara-negara yang dikatakan maju adalah kontributor terbesar (85 %) dan memilik dosa emisi sejarah (historical emissions) karena telah mencemari atmosfir sejak mesin uap ditemukan. Maka, menjadi tidak adil jika pulau-pulau kecil di kawasan Pasifik yang hanya berkontribusi 0,06 % dari emisi global harus menjadi korban pertama dan berpindah daratan ke New Zealand.
Politik Perubahan Iklim
Perdebatan dalam konferensi internasional berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk yang akan terjadi di Bali pada Desember nanti, adalah ruang pertarungan Negara Utara (Maju) dengan Negara Selatan (Berkembang/ miskin) yang kemudian akan selalu dimenangkan oleh kelompok bisnis (business as usual). Kenapa kelompok bisnis yang menang? Karena skema pengurangan emisi yang ditergetkan selalu menggunakan mekanisme pasar, seperti jual-beli karbon sehingga yang ada justru menambah konsentrasi gas rumah kaca.
Jika memang permalahan perubahan iklim ini menjadi agenda serius dunia, seharusnya Negara Maju menjadi pasukan garis depan dalam melakukan mitigasi (pencegahan) dengan mereduksi emisi dan membantu rakyat di Negara Berkembang untuk beradaptasi tanpa pengecualian. Jika tidak katastropi sedang menunggu kita semua.
Oleh karena itu, harus ada pembagian tanggung jawab yang adil atas kerusakan atmosfir bumi berdasarkan emisi sejarah dan konsumsi yang terjadi. Sehingga semua kehidupan dapat berlangsung di bumi ini tanpa dominasi oleh satu kepentingan profit dengan jalan mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan kita.
Penulis,
Aktivis WALHI (Friends of The Earth Indonesia)
Tinggal di Tabanan